Selasa, Juli 15, 2008

Etika Politik dalam perpolitikan daerah

Text Box: Di muat di  : Koran Rakyat  Hari/Tanggal  : Jum’at/ 4 Mei 2007

Dalam sebuah seminar, Progo Nurjaman, Kepala Desk Pilkada Depdagri menyebutkan, walaupun pilkada dilaksanakan ditingkat lokal dampak dan implikasinya akan --sangat mungkin-- sampai ke tingkat nasional. Sehingga, karena itulah Pilkada sebagai sebuah perhelatan besar proses demokratisasi di Indonesia akan menjadi sorotan yang tak kalah pentingnya dengan Pemilu atau Pilpres 2004 sekalipun.

Pilkada secara langsung sebagai produk Era Reformasi adalah Perubahan praktik sistem sosial yang kerap membutuhkan aturan dalam kenyataan sosial. Tumbangnya rezim Orde Baru bisa terjadi karena banyak orang mengambil jarak melalui proses dan kritik terhadap praktik-praktik kekuasaannya. Akan tetapi, ternyata perubahan rezim tidak otomatis merubah praktik-praktik sosial lama. Pengambilan jarak terhadap praktik-praktik sosial lama sebagai kesadaran kolektif ternyata lebih bersifat insidental, artinya hentakan tidak akan menjadi suatu tindakan yang berlangsung lama.

Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan premanisme masih sulit diberantas. Manipulasi agama yang dulu menjadi sarana penunjang manajemen dominasi masih dipraktikan oleh elite politik tertentu. Kekerasan struktural dengan impunity, yang dulu selalu dikaitkan dengan aparat, kini masih banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Memang harus diakui di beberapa sektor, perubahan itu sudah terjadi. Kebebasan pers, kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, melemahnya dominasi militer, dan sebagainya. Idealnya perubahan-perubahan itu berimbas pada praktik-praktik sosial lama yang masih berlangsung. Akan tetapi, perubahan hanya bisa terwujud bila ada perubahan unsur-unsur tindakan kolektif tujuan tindakan, pola pikir baru, kemampuan baru para pelaku sosial dalam berelasi seperti melupakan tujuan reformasi yaitu diterapkannya etika politik. Kemampuan baru berelasi dari para pelaku sosial ditentukan oleh prinsip subsidiaritas dan kesediaan untuk menerima yang berbeda (pluralisme).

Dari aspek lokal penulis ingin melihat korelasi etika politik ini dengan berbagai pelaku-pelaku politik di daerah sehinga tidak hanya berkutit pada persoalan pencalonan, kampanye tim sukses, pelanggaran-pelangaran yang terjadi yang kemudian akan meninmbulkan berbagai persoalan, peggalangan masa atau sekedar pembentukan tim sukses --yang kadang tak sedikit kelompok yang hanya bisa sukses membuat Tim--.

Etika Politik dan moralitas individu

ETIKA politik bukan hanya masalah moral individual. Dalam moral individual hubungan antara visi seorang dan tindakannya langsung. Seseorang bisa langsung menerapkan di dalam tindakannya bila mempunyai pandangan tertentu. Bila tuntutan kesahihan norma terpenuhi, bisa langsung diterjemahkan ke tindakan. Sedangkan etika politik merupakan masalah etika sosial, tidak bisa dilepaskan dari tindakan kolektif dan struktur sosial. Maka, tidak cukup bahwa premis normanya sahih. Masih harus ada syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu diterima oleh sebagian besar anggota masyarakat. Meskipun seseorang mempunyai gagasan bagus belum tentu bisa diterapkan dalam tindakan kolektif. Perlu proses persuasi agar bisa diterima oleh sebanyak mungkin anggota masyarakat.

Jadi hubungan antara visi dan tindakan tidak langsung, harus melalui mediasi (perantara). Mediasi ini berupa simbol-simbol dan nilai-nilai, simbol-simbol agama, demokrasi, nilai-nilai keadilan, solidaritas, kebebasan. Nilai-nilai dan simbol-simbol itu mengantar kepada kesepakatan untuk bertindak. Etika politik erat terkait dengan motivasi, sarana dan tujuan tindakan kolektif (subyektif). Akan tetapi, ada faktor obyektif tindakan kolektif, yaitu struktur sosial. Struktur sosial mengkondisikan tindakan kolektif, mempermudah atau menghambat.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa etika politik mengandalkan pemahaman dialektika aktor dan struktur sosial, artinya struktur-struktur sosial hanya ada karena diciptakan, dihidupi, dipelihara oleh pelaku-pelaku sosial, maka perubahan struktur sosial pun hanya bisa dilakukan oleh pelaku-pelaku sosial, sebaliknya, pelaku sosial, kendati bebas, dikondisikan oleh struktur-struktur sosial tersebut. Dimensi moral berhadapan dengan struktur-strukur sosial tersebut terletak di dalam pilihan-pilihan orang akan tatanan sosial, politik atau ekonomi yang ingin diwujudkan dalam kehidupan bersama.

Dalam konteks inilah agaknya pembicaraan tentang etika politik menjadi relevan. Haryatmoko (2003) menjelaskan pentingnya pembahasan mengenai etika politik setidaknya karena tiga alasan. Pertama, betapa pun kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya tetap membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai, hukum atau peraturan perundangan. Di sinilah letak celah di mana etika politik dapat berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan menoleransi politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran tentang perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu pada etika politik. Pernyataan "perubahan harus konstitusional" menunjukkan bahwa etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.

Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup yang baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Definisi etika politik ini membantu menganalisis korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Dalam perspektif ini, pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan: (1) upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain; (2) upaya memperluas lingkup kebebasan; dan (3) membangun institusi-institusi yang adil.

Tiga tuntutan tersebut saling terkait. "Hidup bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan yang mencegah warga negara atau kelompok-kelompok dari perbuatan yang saling merugikan. Kebebasan warga negara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini dimaksudkan sebagai syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan konkret kebebasan atau democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.

Dalam konteks ini pembicaraan mengenai moral individu sabagai maklhluk sosial erat kaitannya dengan etika politik. Apalagi, pelbagai kasus kekerasan di dunia politik kerap terjadi diberbagai daerah. Dari pengalaman ini patut kalau kita curiga jangan- jangan tiadanya proses hukum terhadap kekerasan yang terjadi merupakan upaya sistematik untuk mengubur etika politik dan mengaburkan moral individu sebagai makhluk sosial.

Agaknya Masyarakat ditingkat daerah khususnya di Cilacap sejak awal 2006 telah diberi berbagai pengalaman demokrasi di tingkat lokal dengan adanya Pemilihan Kepala Desa ( Pilkades ) yang serempak di berbagai wilayah kecamatan dilanjutkan kemudian Pemilihan Bupati dan Pemilihan Gubernur yang memberikan berbagai pembelajaran kepada para pelaku politik daerah yang cukup baik dan akan sangat berimplikasi pada proses demokrasi selanjutnya yaitu Pemilu 2009 kelak. Semoga wacana ini menambah wacana lain bagi proses demokrasi di tingkat lokal yang bisa mengarah pada sesuatu yang lebih baik.

Hamidan Al Majdi
( Wakil Sek DPD PAN Kab. Cilacap )

Tidak ada komentar: