Rabu, Juli 16, 2008

TREND ”ALIH GENERASI” DI ERA REFORMASI

Sejak roformasi bergulir, alih generasi dari tua ke generasi muda memang terus bergulir, mulai dari isyu di partai politik melalaui ketua dan jajaranya, pemimpin di Daerah baik melalui Pilkada kabupaten atau pilkada Gubernur, atau bahkan isyunya telah merambah ke Capres 2009 kelak.

Hanya memang Alih generasi lebih mudah tercium di era reformasi pada sistem kepemimpinan di Partai politik, misalnya, terlihat di PPP. Dalam Muktamar PPP, Februari lalu, semua kandidat yang bertarung adalah generasi di bawah Hamzah Haz, 67 tahun. Misalnya Suryadharma Ali, Arif Mudatsir Mandan, Endin Soefihara, dan Eggy Sujana. Rentang usia mereka 40 sampai 50-an tahun. Suryadharma yang kemudian terpilih berusia 16 tahun lebih muda dari Hamzah. Berbeda dengan Muktamar PPP sebelummnya yang masih jadi ajang kompetisi kader tua.

Wajah baru juga muncul di PKB. Angkatan Matori Abdul Djalil, 65 tahun, dan Alwi Shihab, 61 tahun, digantikan Muhaimin Iskandar, 41 tahun, 20-an tahun lebih muda. Di antara 10 parpol besar, Muhaimin tercatat sebagai ketua termuda, walau akhir-akhir ini disayangkan adanya konflik di PKB yang tidak kunjung usai, sehingga perpecahan lebih terlihat dari pada alih generasi yang ada di PKB. PKS juga melahirkan pemimpin baru.
Selepas Hidayat Nur Wahid, muncul Tifatul Sembiring. Meski usianya hanya beda setahun, terlihat ada sirkulasi kepemimpinan, karena sebelumnya Tifatul kurang dikenal luas.

Hal yang serupa, terjadi di PAN, Ketua umum PAN yang sebelumnya di pegang oleh Amien Rais, 63 tahun, beralih ke generasi yang lebih muda 10 tahun Sutrisno Bachir, termasuk beralihnya pemimpin-pemimpin PAN yang ada ditingkat Wilayah atau Daerah.

Namun, tak semua parpol mengalami alih generasi, PDIP tampak belum bisa lepas dari nama besar Megawati. Golkar hanya mengalami alih faksi. Malah dari sisi umur, terhitung mundur. Usia Jusuf Kalla, 65 tahun, lebih tua dibandingkan dengan ketua sebelumnya, Akbar Tandjung, 62 tahun. Stagnasi generasi juga terjadi di Partai Demokrat. Ketua saat ini, Hadi Utomo, masih sepantaran dengan ketua sebelumnya, Subur Budisantoso, 62 tahun. Di samping itu, partai baru ini juga belum punya basis kader yang kuat.

Harus diakui, parpol memang bukan satu-satunya medium kaderisasi pemimpin publik. Megawati dan Akbar Tandjung memang contoh pemimpin yang lebih banyak besar lewat parpol. Tapi sosok seperti SBY, Wiranto, dan Soeharto lebih banyak dibesarkan lewat organisasi militer. Lain lagi dengan Amien Rais dan Abdurrahman Wahid, meski muncul lewat parpol, mereka lebih dulu besar di ormas keagamaan. Dari jalur ini, kini juga muncul nama Hasyim Muzadi dan Din Syamsuddin.

Tidak semua lini di era reformasi ini mengalami pemampatan regenerasi. Ajang pilkada langsung juga menyediakan mekanisma rekrutmen dan promosi kepemimpinan publik dari sejumlah pelosok daerah. Prestasi mantan Bupati Solok, Sumatera Barat, Gamawan Fauzi, yang pernah mendapat penghargaan sebagai bupati bersih dan pelibas korupsi, mendapat penghargaan lewat mekanisme pilkada. Dalam pemilihan Gubenur Sumatera Barat, Gamawan mendapat pengakuan, mengalami proses promosi, dan terpilih sebagai pemenang.

Dan yang paling mengejutkan adalah di Jawa Barat, Pemilihan Gubernur / Wakil Gubernur yang menghasilkan berlangsung pada beberapa bulan lalu berhasil dimenangkan oleh generasi muda yang terdiri dari Calon Gubernur yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera dan Parati Amanat Nasional ( PAN ) yaitu Hermawan dan Artis terkenal Dede Yusuf. Pasangan Hade yang mengalahkan 2 calon dari mantan Gubernur dan Tokoh nasional yang di usung oleh Partai Golkar dan PDI-P.

Bupati Jembrana, Bali, I Gede Winasa, yang pada periode jabatan pertama mengembangkan kebijakan pendidikan murah bagi rakyat miskin, akhirnya terpilih kembali dengan kemenangan telak. Lewat pilkada, warga Jembrana disediakan cara mengapresiasi prestasi pemimpin. Hal serupa dialami Bupati Kebumen, Jawa Tengah, Rustriningsih. Saat maju ke pencalonan berikutnya, Rustri meraup kemenangan telak.

Lepas dari berbagai kekurangannya, pilkada memberi mekanisme pencarian pemimpin yang kapabel dan diterima warga. Bahkan bila pilkada membuka pencalonan independen seperti di Aceh, juga bisa merekrut pemimpin baru dari belantara warga. Malah bisa menembus keangkuhan parpol, yang oleh sebagian kalangan dinilai banyak berperan menyumbat cara fair dalam rekrutmen calon pemimpin.

Peluang munculnya pemimpin baru bisa diperbesar bila monopoli parpol dalam rekrutmen pemimpin dihapus. Dari ajang "akademi pilkada" yang terbuka, dengan memberi peluang calon independen, bisa jadi akan bermunculan sosok dari berbagai pelosok daerah yang lebih layak menjadi pemimpin Indonesia di masa depan.

Belum lagi kalau melihat pola-pola yangterbangun dalam proses pencalonan Anggota Lesilatif di beberapa parpol. Agaknya kalau pencaleg-an tidak membuka pintu kepada generasi muda untuk tampil maka Partai-partai akan mengalami akibat dari kejenuhan rakyat pada generasi-generasi tua. Sehingga akan menguntungkan bagi partai-partai yang berani membuka generasi-generasi muda untuk menjadi calon alternatif mengawal partainya. Partai Amanat Nasional dalam beberapa Rakernasi terakhir sepertinya memberikan peluang cukup besar kepada generasi muda untuk tampil, dengan memberikan kesempatan kepada tokoh-tokoh di tingkat daerah tampil dengan tidak memikirkan nomor urut pencalegan, karena yang akan menentukan adalah Suara terbanyak .

Maka peluang ini seharusnya ditangkap oleh generasi muda yang ada di beberapa daerah, semoga Indonesia mengalami kemajuan saat kita bertekad untuk berubah, sehingga jangan tunggu waktu untuk berubah. Sekaranglah saatnya....

Masham 17/7/08

Selasa, Juli 15, 2008

Etika Politik dalam perpolitikan daerah

Text Box: Di muat di  : Koran Rakyat  Hari/Tanggal  : Jum’at/ 4 Mei 2007

Dalam sebuah seminar, Progo Nurjaman, Kepala Desk Pilkada Depdagri menyebutkan, walaupun pilkada dilaksanakan ditingkat lokal dampak dan implikasinya akan --sangat mungkin-- sampai ke tingkat nasional. Sehingga, karena itulah Pilkada sebagai sebuah perhelatan besar proses demokratisasi di Indonesia akan menjadi sorotan yang tak kalah pentingnya dengan Pemilu atau Pilpres 2004 sekalipun.

Pilkada secara langsung sebagai produk Era Reformasi adalah Perubahan praktik sistem sosial yang kerap membutuhkan aturan dalam kenyataan sosial. Tumbangnya rezim Orde Baru bisa terjadi karena banyak orang mengambil jarak melalui proses dan kritik terhadap praktik-praktik kekuasaannya. Akan tetapi, ternyata perubahan rezim tidak otomatis merubah praktik-praktik sosial lama. Pengambilan jarak terhadap praktik-praktik sosial lama sebagai kesadaran kolektif ternyata lebih bersifat insidental, artinya hentakan tidak akan menjadi suatu tindakan yang berlangsung lama.

Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan premanisme masih sulit diberantas. Manipulasi agama yang dulu menjadi sarana penunjang manajemen dominasi masih dipraktikan oleh elite politik tertentu. Kekerasan struktural dengan impunity, yang dulu selalu dikaitkan dengan aparat, kini masih banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Memang harus diakui di beberapa sektor, perubahan itu sudah terjadi. Kebebasan pers, kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, melemahnya dominasi militer, dan sebagainya. Idealnya perubahan-perubahan itu berimbas pada praktik-praktik sosial lama yang masih berlangsung. Akan tetapi, perubahan hanya bisa terwujud bila ada perubahan unsur-unsur tindakan kolektif tujuan tindakan, pola pikir baru, kemampuan baru para pelaku sosial dalam berelasi seperti melupakan tujuan reformasi yaitu diterapkannya etika politik. Kemampuan baru berelasi dari para pelaku sosial ditentukan oleh prinsip subsidiaritas dan kesediaan untuk menerima yang berbeda (pluralisme).

Dari aspek lokal penulis ingin melihat korelasi etika politik ini dengan berbagai pelaku-pelaku politik di daerah sehinga tidak hanya berkutit pada persoalan pencalonan, kampanye tim sukses, pelanggaran-pelangaran yang terjadi yang kemudian akan meninmbulkan berbagai persoalan, peggalangan masa atau sekedar pembentukan tim sukses --yang kadang tak sedikit kelompok yang hanya bisa sukses membuat Tim--.

Etika Politik dan moralitas individu

ETIKA politik bukan hanya masalah moral individual. Dalam moral individual hubungan antara visi seorang dan tindakannya langsung. Seseorang bisa langsung menerapkan di dalam tindakannya bila mempunyai pandangan tertentu. Bila tuntutan kesahihan norma terpenuhi, bisa langsung diterjemahkan ke tindakan. Sedangkan etika politik merupakan masalah etika sosial, tidak bisa dilepaskan dari tindakan kolektif dan struktur sosial. Maka, tidak cukup bahwa premis normanya sahih. Masih harus ada syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu diterima oleh sebagian besar anggota masyarakat. Meskipun seseorang mempunyai gagasan bagus belum tentu bisa diterapkan dalam tindakan kolektif. Perlu proses persuasi agar bisa diterima oleh sebanyak mungkin anggota masyarakat.

Jadi hubungan antara visi dan tindakan tidak langsung, harus melalui mediasi (perantara). Mediasi ini berupa simbol-simbol dan nilai-nilai, simbol-simbol agama, demokrasi, nilai-nilai keadilan, solidaritas, kebebasan. Nilai-nilai dan simbol-simbol itu mengantar kepada kesepakatan untuk bertindak. Etika politik erat terkait dengan motivasi, sarana dan tujuan tindakan kolektif (subyektif). Akan tetapi, ada faktor obyektif tindakan kolektif, yaitu struktur sosial. Struktur sosial mengkondisikan tindakan kolektif, mempermudah atau menghambat.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa etika politik mengandalkan pemahaman dialektika aktor dan struktur sosial, artinya struktur-struktur sosial hanya ada karena diciptakan, dihidupi, dipelihara oleh pelaku-pelaku sosial, maka perubahan struktur sosial pun hanya bisa dilakukan oleh pelaku-pelaku sosial, sebaliknya, pelaku sosial, kendati bebas, dikondisikan oleh struktur-struktur sosial tersebut. Dimensi moral berhadapan dengan struktur-strukur sosial tersebut terletak di dalam pilihan-pilihan orang akan tatanan sosial, politik atau ekonomi yang ingin diwujudkan dalam kehidupan bersama.

Dalam konteks inilah agaknya pembicaraan tentang etika politik menjadi relevan. Haryatmoko (2003) menjelaskan pentingnya pembahasan mengenai etika politik setidaknya karena tiga alasan. Pertama, betapa pun kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya tetap membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai, hukum atau peraturan perundangan. Di sinilah letak celah di mana etika politik dapat berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan menoleransi politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran tentang perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu pada etika politik. Pernyataan "perubahan harus konstitusional" menunjukkan bahwa etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.

Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup yang baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Definisi etika politik ini membantu menganalisis korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Dalam perspektif ini, pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan: (1) upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain; (2) upaya memperluas lingkup kebebasan; dan (3) membangun institusi-institusi yang adil.

Tiga tuntutan tersebut saling terkait. "Hidup bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan yang mencegah warga negara atau kelompok-kelompok dari perbuatan yang saling merugikan. Kebebasan warga negara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini dimaksudkan sebagai syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan konkret kebebasan atau democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.

Dalam konteks ini pembicaraan mengenai moral individu sabagai maklhluk sosial erat kaitannya dengan etika politik. Apalagi, pelbagai kasus kekerasan di dunia politik kerap terjadi diberbagai daerah. Dari pengalaman ini patut kalau kita curiga jangan- jangan tiadanya proses hukum terhadap kekerasan yang terjadi merupakan upaya sistematik untuk mengubur etika politik dan mengaburkan moral individu sebagai makhluk sosial.

Agaknya Masyarakat ditingkat daerah khususnya di Cilacap sejak awal 2006 telah diberi berbagai pengalaman demokrasi di tingkat lokal dengan adanya Pemilihan Kepala Desa ( Pilkades ) yang serempak di berbagai wilayah kecamatan dilanjutkan kemudian Pemilihan Bupati dan Pemilihan Gubernur yang memberikan berbagai pembelajaran kepada para pelaku politik daerah yang cukup baik dan akan sangat berimplikasi pada proses demokrasi selanjutnya yaitu Pemilu 2009 kelak. Semoga wacana ini menambah wacana lain bagi proses demokrasi di tingkat lokal yang bisa mengarah pada sesuatu yang lebih baik.

Hamidan Al Majdi
( Wakil Sek DPD PAN Kab. Cilacap )

"Melek Politik" Rakyat Cilacap

Dinamika kehidupan masyarakat Cilacap menjelang Pemilu 2009 yang semakin dekat, agaknya akan menghadirkan banyak kepentingan yang saling berbenturan satu pihak dengan pihak yang lain. Benturan kepentingan politik itulah yang kemudian menimbulkan berbagai konsekuensi politik yang akibatnya bisa baik juga kadang kurang baik bagi sebagian orang atau masyarakat. Hanya saja ketika kepentingan itu ber’label kepentingan rakyat’ maka disanalah benturan para pelaku politik untuk dituntut benar-benar sesuai dengan kepentingan rakyat tidak hanya sebatas ’lebel’ belaka.

Dengan perubahan situasi yang terjadi pada bangsa ini dari alam otoritorianisme menjadi alam demokrasi yang kemudian dikenal Era refomasi sejak 98 ini semua pelaku masyarakat di semua lini seperti masih dibayang-bayangi oleh ”syndrom euphoria” yang kadang menawarkan kebebasan dan ketidak teraturan. Bayang bayang ”syndrom euphoria” inilah yang kemudian membawa kita pada tarik ulur kepentingan pribadi, kelompok atau golongan yang kadang mengesampingkan kepentingan lebih besar yaitu ’kedaulatan rakyat’.

Situasi inilah yang membawa kita pada kondisi se-akan-akan reformasi ’mati suri’. Ironisnya kondisi ’mati suri’nya reformasi ini didukung oleh situasi yang ada di berbagai daerah. Namun demikian, era reformasi paling tidak telah memberi peluang yang besar kepada Rakyat untuk menentukan pemimpinnya sendiri. Dsinilah kemudian kedaulatan rakyat terus dijadikan muara untuk meneguhkan kembali arah reformasi yang sebenarnya.

Untuk itulah rakyat dituntut segera belajar dan ’melek politik’ sehingga rakyat tidak saja dijadikan sumber suara dalam kepentingan politik sesaat tetapi jauh dari itu rakyat benar-benar berdaulat dan tidak menerima begitu saja pada nasib yang ada.

Maka dari sinilah Badan Perkaderan, Pembinaan Organisasi dan keanggotaan DPD Partai Amanat Nasional Kab. Cilacap menampilkan hal berbeda kepada masyaraat Cilacap Jawa Tengah melalu Blogspot ini.. Semoga bermanfaat.

Ketua BP-POK H. Arief Romdlon

Sekretaris BP-POK Hamidan Al Majdi